Ramadhan Terakhir
Cerpen Karangan: Margareta Wila
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Ramadhan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 28 January 2016
“Fajar Ramadhan telah menghampiri dunia, kerinduan pada bulan suci Ramadhan akhirnya terobati, selembar sutra menghapus noda, sebening embun penyejuk kalbu, Marhaban ya Ramadhan.”
Ketenangan terasa begitu bergetar di jiwa, kesejukan begitu terhirup memenuhi kalbu. Kerinduan pada bulan suci akhirnya terjawab juga. Syukurku pada-Mu Ya Allah atas segala nikmat yang Engkau berikan sehingga aku masih bisa mencicip rasa di bulan suci Ramadhan ini.
“El?” Suara seseorang seketika membuyarkan lamunanku.
“Ih Al bikin kaget aja!” Protesku.
Aku terlahir sebagai saudara kembar, saudariku bernama Alvira dan aku sendiri bernama Elvira, kami hanya memiliki selang waktu 5 menit saja saat terlahir, hanya saja aku tetap disebut seorang kakak, karena aku yang lahir 5 menit lebih awal. “Lihat deh mukena yang ini cantik banget kan, bagus, aku pengen banget El.” ucap Alvira sambil menunjukkan catalogue mukena padaku. “Iya bagus.” responku singkat. “Aku ingin beli ini.” katanya sambil berlalu.
Meskipun aku terkesan lebih cuek, tapi sebenarnya aku sangat menyayanginya. Kami sering pergi tarawih bersama, ngabuburit bersama dan menghabiskan waktu bersama selama bulan Ramadhan, itulah rutinitas yang kami lakukan setiap tahunnya. Mengingat keinginan Alvira beberapa hari yang lalu, aku berniat untuk membelikannya mukena itu, karena entah kebetulan atau bagaimana, ulang tahun kami tahun ini bertepatan dengan hari terakhir bulan suci Ramadhan.
Tak terasa bulan suci Ramadhan terlewati begitu cepat, 8 hari lagi lebaran, yang otomatis 7 hari lagi aku dan Alvira berulang tahun. Sorenya aku sengaja pergi tanpa mengajak Alvira. Aku sengaja memecahkan celenganku dan menghabiskan tabunganku, berharap di bulan suci Ramdhan ini, adalah bulan terindah yang ia rasakan di hari ulang tahunnya. Tapi, dalam perjalanan tiba-tiba 2 orang pengendara motor membawa tasku, sontak membuatku kaget dan terjatuh.
“Toloonngggg!!!” teriakku sebisanya berharap ada seseorang yang bisa mengembalikkan tasku.
Tapi, meskipun begitu, pencuri itu telah pergi jauh dan tasku tidak bisa diselamatkan. Air mata seketika menetes dari ujung mataku. “Lalu bagaimana aku membelikan hadiah untuk Alvira?” pertanyaan itu terus muncul di benakku. “Di bulan suci ini, kenapa masih saja ada orang yang berniat jahat.” batinku menyesal.
Tapi, meskipun begitu, pencuri itu telah pergi jauh dan tasku tidak bisa diselamatkan. Air mata seketika menetes dari ujung mataku. “Lalu bagaimana aku membelikan hadiah untuk Alvira?” pertanyaan itu terus muncul di benakku. “Di bulan suci ini, kenapa masih saja ada orang yang berniat jahat.” batinku menyesal.
Semenjak kejadian itu, aku berusaha kembali mengumpulkan uang, meskipun tidak bisa untuk membelikan Alvira mukena, tapi setidaknya aku ingin memberikannya sesuatu di hari spesialnya. Sore ini, Alvira memintaku untuk menemaninya pergi. Aku menurutinya saja. Kami pergi menggunakan sepeda motor, Alvira yang membawanya, sementara aku selalu duduk manis di belakang karena memang aku tidak bisa membawa sepeda motor.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba…
“Aaahhhh…”
Ku dengar jeritan dari berbagai arah, seketika ku lihat kumpulan orang mendekatiku, selang beberapa waktu terdengar suara ambulans mendekat. Aku sudah tak mampu menangkap jelas apa yang terjadi, kepalaku benar-benar pening, aku tetap berusaha menangkap bayang-bayang di sekitarku, ku lihat seorang gadis terbaring kaku berlumuran darah, “Alvira.” suaraku terdengar berbisik. Lalu semuanya berubah menjadi hitam pekat dan aku tak mampu lagi menangkap bayang apa pun.
Keesokkan harinya, akhirnya aku bisa membuka mata, di sela-sela kelinglunganku, aku berusaha mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi. Di balik pintu ku lihat Ayah dan Ibuku mendekat. “Alvira?” suaraku terdengar berbisik. Ayah dan Ibu saling berpandangan, seketika air mata mulai meleleh dari ujung mata Ibuku. “Ada apa?” Tanyaku semakin tidak mengerti, tapi keduanya sama-sama membisu. Kebingungan mulai berkecamuk di jiwaku, akhirnya dengan memaksa aku diantar ke ruangan di mana Alvira berada dengan menggunakan kursi roda, karena aku belum mampu berdiri apalagi berjalan. Namun, kala memasuki ruangan, yang pertama aku lihat hanyalah sekujur tubuh yang terdiam kaku tertutup kain putih polos.
“Maaf Mbak, kami sudah berusaha, tapi 5 menit yang lalu Tuhan berkehendak lain.” ucap seorang dokter yang berdiri tepat di depanku.
Seperti ada benda tajam yang dengan cepat menusuk jantungku, makin dalam dan semakin dalam hingga nyeri begitu terasa. Tangisan kini mulai mewakili isi hatiku, kala melihat Alvira sudah terbujur kaku tak lagi bernyawa. “Bahkan hanya karena aku terlambat 5 menit saja, kau tak ingin bertahan sejenak saja untuk menungguku? Apakah karena dulu saat kita dilahirkan aku datang lebih dulu dan meninggalkanmu selama 5 menit juga, apakah kau marah karena itu? Kenapa tak kau biarkan aku yang pergi lebih dulu, seperti saat aku lebih dulu lahir ke dunia ini daripada kamu!” Bisikku di sela isak tangis.
Kini aku benar-benar merasa separuh jiwaku telah hilang. Setelah mengantarkan Alvira ke tempat peristirahatan terakhirnya, aku berjalan menelusuri sudut rumah, hingga akhirnya langkahku terhenti pada sebuah ruangan, “Alvira.” nama yang ku dapat tepat di depan pintu kamarnya, perlahan aku membuka pintu itu dan masuk, betapa kagetnya aku saat ku temukan mukena berwarna suci dan selembar kertas di atasnya tepat di atas tempat tidurnya.
“Yang terkasih Saudariku Elvira. Hai El, selamat ulang tahun aku tahu meskipun kau selalu bersikap cuek, tapi kau sangat menyayangiku. Maaf jika aku selalu membuatmu susah, aku tahu beberapa minggu yang lalu uangmu dicuri, hanya karena kau ingin membelikan mukena untukku. Maaf itu semua salahku! Tapi, tahukah kau, sebenarnya saat itu, aku menunjukkan gambar mukena dan meminta pendapatmu, karena aku berniat untuk membelikkannya untukmu, aku takut kau tidak menyukainya sehingga saat itu aku harus berpura-pura bahwa aku yang menginginkannya.”
“Kak? Haha apakah terdengar lucu, sejak kecil aku tak pernah ingin memanggilmu Kakak, karena kita lahir di hari yang sama, itu artinya aku tak perlu memanggilmu Kakak bukan? Tapi, saat ini aku sangat ingin memanggilmu dengan sebutan itu, aku takut aku tak sempat melakukannya. Maaf hanya mukena ini yang bisa ku berikan untukmu, semoga kau menyukainya. Aku sangat dan sangat menyayangimu. Alvira.” Seketika air mataku menetes dengan derasnya, haruskah ku lalui bulan suci Ramadhan nanti tanpa sosokmu? Hingga akhirnya aku terlelap di antara bayang-bayang waktu di mana aku benar-benar telah kehilangan sosoknya.
Sumber http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/ramadhan-terakhir.html
Comments